Wednesday 15 January 2014

WATERPASS COUNTOURING

Waterpassing merupakan pengukuran beda tinggi dari titik – titik di lapangan sehingga akhirnya didapatkan gambaran lengkap tentang kedudukan tinggi dari lapangan tersebut. Pekerjaan waterpassing ini dapat dikerjakan dengan beberapa metode antara lain metode memancar (radial), metode jaringan stelsel dan metode profil sejajar (Sudaryatno, 2009). Metode jaringan stelsel dilakukan dengan membuat jaringan bujur sangkar pada daerah yang diukur. Titik-titik dari setiap bujur sangkar diberi tanda dengan indeks huruf dan angka misalnya seperti A1, A2, A3, B1, B2, B3, dll. Alat yang berupa waterpass dapat diletakkan di tengah bidang atau di luar bidang pengukuran.

Hal yang perlu diperhatikan dalam memulai pengukuran yaitu harus ditentukan terlebih dahulu arah utara magnetis menggunakan kompas. Informasi yang harus diperoleh di lapangan yaitu nilai Ca, Cb, sudut horizontal dan tinggi alat. Selanjutnya akan diperoleh informasi ketinggian di setiap titik pengukuran. Hasil pengukuran tinggi titik-titik tersebut dapat dibuat suatu garis kontur.

Garis kontur merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk menggambarkan permukaan dan ketinggian pada peta karena memberikan ketelitian yang baik. Pembuatan garis kontur dilakukan dengan cara interpolasi titik-titik hasil pengukuran di lapangan. Tidak dimungkinkan untuk mengetahui ketinggian semua titik dengan mengukur ketinggian semua titik itu. Menurut Hidayati (2011), interpolasi dibagi menjadi dua yaitu:
1. Interpolasi linier yaitu interpolasi garis kontur menggunakan perhitungan pada garis
2. Interpolasi grafis yaitu membagi garis menggunakan garis lain yang ukurannya lebih mudah lalu digaris dengan prinsip garis sejajar untuk mendapatkan ukuran yang sebanding
 
Kegunaan dari garis kontur yaitu:
1. Menunjukkan bentuk relief
2. Mengetahui bentuk lereng
3. Mengetahui besar kemiringan lereng
 
Sifat yang dimiliki garis kontur yaitu:

1. Semakin rapat garis kontur semakin terjal kemiringan lereng dan semakin renggang garis kontur semakin landai bentuk kemiringan lereng
2. Garis kontur selalu berkesinambungan atau kontinyu
3. Tidak ada garis kontur yang berpotongan satu sama lain
4. Tidak ada garis kontur yang bercabang
5. Garis kontur bersifat horizontal
6. Garis kontur selalu membelok-belok
7. Garis kontur merupakan garis yang tertutup
8. Garis kontur selalu tegak lurus dengan aliran di permukaan


DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Iswari Nur, 2011, Petunjuk Praktikum Kartografi Dasar(GKP 0101), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sudaryatno. 2012. Modul BahanAjar  Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta :Fakultas Geografi, Universitas GadjahMada

WATERPASS PROFILLING

“Profil (pro dan filare yang berarti menarik garis ke depan) adalah bentuk kenampakan topografi suatu lereng apabila dipotong secara vertikal atau gambaran penampang suatu daerah dilihat dari samping. Selanjutnya besarnya kemiringan lereng dapat ditentukan berdasarkan perbandingan antara beda tinggi dengan jarak datar dari dari dua buah titik atau tempat, dan penyajian besarnya kemiringan tersebut dapat berupa derajat, meter per kilometer, pecahan, miles, persen dan desimal” (Iswari N. Hidayati:2011). Profil diperlukan untuk membuat trase jalan kereta api, jalan raya, saluran air, pipa air minum (Wongsotjitro, 1980).

Pembuatan profil diperlukan pengukuran terhadap beda tinggi dan jarak setiap titik yang akan dibuat profil. Waterpass merupakan salah satu alat yang sering digunakan dalam pengukuran untuk membuat profil. Hal ini mungkin karena keunggulannya dalam kecepatan pengukuran dan perhitungan yang sederhana. Profiling menggunakan waterpass terdapat dua macam cara, yaitu memanjang dan melintang.

Metode memanjang dilakukan dengan membuat segmen-segmen pada tanah yang akan dibuat profil. Instrumen dan titik yang akan diukur terletak pada satu garis lurus. Metode ini hampir mirip dengan pelurusan hanya saja dilakukan pada bidang yang miring. Ilustrasi pengukuran dengan metode memanjang dapat dilihat pada gambar 5.1.




Metode melintang dilakukan dengan satu titik pengamatan yang membidik beberapa titik. Alat ukur diletakkan di luar garis ukur. Ilustrasi pengukuran dengan metode memanjang dapat dilihat pada gambar 5.2.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Iswari Nur, 2011, Petunjuk Praktikum Kartografi Dasar(GKP 0101), Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Sudaryatno. 2012. Modul BahanAjar  Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta :Fakultas Geografi, Universitas GadjahMada
Wongsotjitro, Soetomo. 1980. Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Kanisius.

TRIGONOMETRICAL LEVELING

Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan tiga cara yaitu: Barometris, Trigonometris dan pengukuran menyipat datar. Ketiga metode tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan cara pengukuran menyipat datar dan ketelitian terkecil adalah metode Barometer. Metode trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetis (Basuki, 2006). Pengukuran sudut vertikal atau kemiringan dapat menggunakan theodolith atau kompas survei.

Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur tanah yaitu jarak antar titik yang akan ditentukan beda tingginya tidak terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan bumi dan refraksi dapat diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya. Berbeda dengan lingkup geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya relatif jauh sehingga harus memperhatikan kelengkungan bumi. Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak dapat diterapkan pada pengukuran beda tinggi ini. Nilai sudut vertikal dan horizontal harus dikoreksi dengan kelengkungan bumi dan refraksi. 
 
Triginometrikal atau trigonometrikal levelling dibagi menjadi dua yaitu trigonometrikal levelling segitiga dan memanjang. Metode trigonometri memanjang merupakan pengukuran menggunakan dua titik yang terletak dalam segaris lurus dengan obyek. Metode trigonometri segitiga menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk sudut dan membentuk segitiga dengan obyek pengamatan. Kedua cara tersebut menggunakan prinsip atau sifat segitiga.




DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Slamet. 2006. Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Sudaryatno. 2009. Petunjuk Praktikum Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Wongsotjitro, Soetomo. 1980. Ilmu Ukur Tanah. Yogyakarta: Kanisius.